Membangun rumah sendiri sering kali menjadi simbol pencapaian hidup, sebuah momen yang seharusnya membahagiakan dan membanggakan. Namun, bagi sebagian warga di Indonesia, mimpi memiliki rumah impian lewat https://mimpi44.com justru berubah menjadi perjuangan yang melelahkan. Bukan hanya karena mahalnya harga material atau rumitnya proses perizinan, tetapi karena kehadiran praktik pungutan liar (pungli) yang seolah sudah mengakar dalam proses birokrasi dan pelaksanaan di lapangan. Ironisnya, semua ini terjadi di tanah sendiri—di mana warga seharusnya merasa aman dan dihargai.
Pungli bisa muncul dalam berbagai bentuk: dari petugas lapangan yang "meminta uang rokok", aparat yang menunda pengurusan izin tanpa "uang pelicin", hingga oknum yang mengklaim lahan warga dan memaksa bayar "uang keamanan". Praktik ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga secara emosional. Rasa lelah, cemas, bahkan frustasi kerap dialami oleh mereka yang hanya ingin membangun tempat tinggal untuk keluarganya. Bukannya didukung, mereka malah dihadang oleh sistem yang semestinya melindungi.
Yang lebih menyedihkan, praktik pungli ini sering dianggap “sudah biasa”, bahkan dibenarkan dengan dalih “begitulah caranya supaya cepat selesai”. Ketika sesuatu yang tidak benar dianggap lumrah, maka ketidakadilan akan terus terulang. Masyarakat kecil yang ingin membangun rumah secara jujur akhirnya terpaksa memilih dua hal: membayar demi kelancaran, atau bersiap menghadapi proses yang lama dan penuh hambatan. Ini bukan hanya soal rumah, tapi soal hak dasar sebagai warga negara yang semestinya dilindungi dan dimudahkan.
Saatnya negara dan masyarakat bersinergi untuk melawan praktik pungli, sekecil apapun bentuknya. Transparansi, edukasi, dan keberanian melapor harus menjadi budaya baru dalam proses pembangunan dan pelayanan publik. Karena rumah bukan hanya bangunan fisik—ia adalah ruang aman, tempat pulang, dan simbol harga diri. Tidak seharusnya proses membangunnya menjadi ladang pemerasan. Di tanah sendiri, warga berhak membangun tanpa rasa takut dan tanpa diperas. Perjuangan memiliki rumah tidak boleh lagi dihiasi dengan pungli, tapi didukung oleh keadilan dan kepastian hukum.